PEMIKIRAN MENCIUS TENTANG DEMOKRASI

24/06/2013 02:59

kamis, 10 september 2009

Negara Ideal Mencius

 

NEGARA YANG IDEAL
(Tinjauan Kritis Terhadap Sistem Politik Demokrasi Bangsa Indonesia Berdasarkan Pemikiran Mencius)
1. Pengantar
Kurang lebih 63 tahun, Bangsa Indonesia berjalan di bawah payung demokrasi. Secara konstitusional, hal itu telah disebutkan secara eksplisit di dalam UUD 1945. Pasal 1 UUD 1945, ayat 2 menyebutkan bahwa, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat….” Kerakyatan menjadi konsep sentral dalam demokrasi.[1] Rakyat menjadi unsur hakiki dari sebuah negara demokrasi. Oleh karena itu perjalanan politik sebuah negara harus mampu mendatangkan kesejahteraan bagi hidup rakyat. Sebab tujuan terbentuknya sebuah negara, bukan untuk kesejahteraan individu-individu melainkan kesejahteraan umum.[2]
Dalam paper ini, penulis ingin membuat sebuah tinjauan kritis terhadap sistem politik demokrasi yang dianut oleh Bangsa Indonesia hingga saat ini. Asumsi awalnya adalah bahwa kondisi Bangsa Indonesia saat ini yang terus dilanda krisis dalam berbagai bidang kehidupan dan mendatangkan penderitaan bagi rakyat kecil[3] adalah sebuah indikasi adanya kepincangan dalam pergerakan politik demokrasi. Karena itu, penulis ingin menelaah pergerakan realitas politik itu berdasarkan gagasan politik Mencius. Di dalam gagasan politik Mencius terkandung prinsip-prinsip demokrasi untuk perjalanan pemerintahan sebuah negara.
Paper ini dibagi dalam beberapa bagian utama. Pertama, bagaimana konteks sosial-politik zaman di mana Mencius hidup. Kedua, bagaimana gagasan negara yang ideal menurut Mencius. Dan ketiga adalah tinjauan kritis terhadap sistem politik demokrasi Bangsa Indonesia berdasarkan pemikiran Mencius.
2. Konteks Sosial-Politik Zaman Mencius
Mencius[4] adalah seorang pemikir Cina yang hidup di akhir masa kekuasaan dinasti Chou. Masa di mana Mencius hidup oleh orang Cina disebut “masa perang antar negeri” (warring states).[5] Dinasti Chou yang berkuasa saat itu mengalami kemunduran dalam menjalankan pemerintahannya. Sistem kontrol raja (pemerintah pusat) terhadap pemerintah-pemerintah daerah mulai kendor, sehingga mereka menjalankan pemerintahannya dengan sendiri-sendiri. Pemerintah di daerah menjadi berkuasa dalam wilayahnya sendiri. Oleh karena fungsi kontrol dari pemerintah pusat yang lemah, maka kemudian mulai merebak perang antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Saat itu, Cina sungguh-sungguh mengalami distabilitas sosial. Sistem pemerintahan feodal[6] yang mereka anut, secara perlahan-lahan tidak membawa hal yang memuaskan bagi rakyat. Raja menjalankan fungsi kontrolnya melampaui batas dan sekaligus memangkas kuasa bawahannya yaitu para bangsawan. Kecuali itu, kehidupan raja mulai menunjukkan moralitas yang tidak benar seperti adanya prilaku korupsi. Para bangsawan mulai tidak setia terhadap raja dan raja pun tak cukup kuasa untuk mengendalikan mereka.
Dalam pemikiran Cina, perlakuan raja yang menyimpang merupakan tanda bahwa raja tidak menganggap lagi mandat yang diperolehnya berasal dari “surga.” Sebab ada sebuah keyakinan di Cina bahwa kekuasaan itu adalah mandat yang berasal dari kekuatan di atas manusia. Penguasa mendapat otoritas karena ia mengabdi “yang di atas.” Terhadap raja yang melakukan penyimpangan, para bangsawan yang ada di bawahnya dapat melakukan kritik kepada raja. Kemerosotan moral raja merupakan sebuah indikasi bahwa ia tidak lagi memiliki hubungan yang harmonis dengan yang di atas.
Dalam konteks inilah muncul pemikiran-pemikiran Cina yang sangat subur. Salah satunya adalah Mencius. Oleh karena konteksnya adalah distabilitas sosial, maka kemudian berkembang pemikiran Mencius yang memfokuskan diri pada manusia dan kemudian juga berimplikasi pada gagasannya tentang politik.
3. Gagasan Negara yang Ideal Menurut Mencius
Mencius memiliki keyakinan yang sama dengan Aristoteles yaitu bahwa “manusia adalah hewan yang berpolitik.” Titik berangkat gagasan ini adalah manusia sebagai makhluk sosial. Menurut Mencius negara itu memang sudah seharusnya ada. Sebab keberadaan negara melekat erat dengan hakekat manusia. Manusia tidak hanya membutuhkan makanan, tempat tinggal, tetapi juga ia membutuhkan kehidupan sosial. Agar manusia sungguh-sungguh dapat berkembang dalam hidup sosialnya, maka perlu aturan-aturan yang mengaturnya. Dalam perkembangan selanjutnya, sosialitas manusialah yang memengaruhi munculnya struktur politik.[7]
Menurut Mencius, negara merupakan sebuah lembaga atau institusi moral. Negara memiliki peran yang sangat besar dalam membantu perkembangn moralitas manusia. Oleh karena negara adalah institusi moral, maka pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang mempunyai legitimasi moral.[8] Mencius memiliki keyakinan yang kuat bahwa seorang pemimpin pertama-tama harus memerintah lewat contoh moral daripada dengan kekuatan.
Gagasan ini memiliki implikasi bahwa jika seorang penguasa tidak memiliki kualitas moral yang membuatnya menjadi pemimpin yang baik, maka rakyat berhak untuk mengadakan revolusi. Bahkan membunuh penguasa pun bukan lagi dilihat sebagai tindakan amoral. Sebab, menurut Mencius jika seorang penguasa tidak lagi bertindak sebagaimana seharusnya ia bertindak, maka secara moral ia bukan lagi seorang penguasa.[9] Dengan kata lain, Mencius menekankan adanya kesesuaian antara jabatan yang dipegang oleh seorang penguasa dengan prilaku moralnya.
Mencius memiliki sebuah idealisme yang besar tentang suatu negara yakni negara yang mampu mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat. Negara yang ideal bagi Mencius adalah negara yang mengembangkan teori “pemerintahan yang penuh kebaikan.”[10] Lin Yutang melihat ada enam poin pokok dari gagasan Mencius yang merupakan kontribusi nyata terhadap prinsip-prinsip demokrasi.[11] Pertama, menurut Mencius, semua manusia itu sama. “Manusia bijaksana adalah manusia biasa yang sama sebagaimana kita semua.” Gagasan ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan gagasannya tentang kodrat manusia yang pada dasarnya baik. Oleh karena kodratnya dasariah manusia baik, maka ia selalu berusaha melakukan kebaikan. Ia terdorong untuk melakukan hal-hal yang baik. Tentang kebaikan dasariah manusia ini, Mencius mengatakan bahwa seseorang tidak dapat tahan melihat seorang seekor sapi yang dibawa oleh tuannya untuk dibunuh. Apa yang hendak dikatakan adalah bahwa dalam diri manusia memiliki rasa simpati yang sangat dalam terhadap kehidupan sesamanya.
Kedua, rakyat adalah unsur yang paling penting dari suatu negara. Mencius berkata, “Rakyat merupakan bagian paling utama dalam sebuah negara. Kemudian baru tanah dan pertanian dan yang terakhir adalah penguasa.”[12] Gagasan ini sama dengan gagasan negara demokrasi modern, yaitu rakyat menjadi perhatian utama sebagaimana juga didefinisikan oleh Abraham Lincoln, ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.”
Ketiga, aturan-aturan kenaikan jabatan dan pengenaan hukuman hendaknya tidak didasarkan pada keputusan pejabat negara, tetapi berdasarkan pada apa yang menjadi keputusan rakyat banyak. Di sini menjadi semakin jelas gagasan Mencius tentang demokrasi yang menegaskan kedaulatan rakyat dalam menjalankan pemerintahan. Rakyat menjadi pemegang kendali untuk jalannya sebuah pemerintahan.
Keempat, pemerintahan harus dijalankan demi kesejahteraan rakyat. Dan karena itu, menurut Mencius ekonomi merupakan fondasi yang penting bagi keberlangsungan negara. Pemerintah melaksanakan semua yang yang dapat ia lakukan untuk memberikan kesejahteraan dan keuntungan rakyat. Negara mesti dibangun dengan ekonomi yang sehat. Terhadap persoalan ekonomi ini, Mencius memberikan dasar-dasar praktis untuk kesejahteran rakyatnya. Oleh karena Cina saat itu adalah negara agraris, Mencius menganjurkan pembagian tanah yang jelas dan keringan pajak.[13]
Kelima, hubungan penguasa dan rakyat adalah hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik itu memungkinkan adanya kerjasama yang efektif. Dengan demikian, hal itu sangat membantu dalam mencapai cita-cita sebuah negara.
Keenam, rakyat memiliki hak untuk mengadakan revolusi. Revolusi akan terjadi manakala sang penguasa tidak lagi mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan bahkan melakukan perlbagai tindakan penyimpangan. Tindakan penyimpangan seperti korupsi adalah sebuah indikasi bahwa penguasa itu tidak lagi memiliki legitimasi moral sebagai syarat utama untuk seorang pemimpin.
Mencius menekankan dengan sungguh-sungguh gagasan bahwa, sebagaimana juga pandangan Confusius pendahulunya, kekuasaan raja merupakan “mandat dari surga”. Mandat pun akan hilang atau berhenti ketika kaisar menyalahgunakan kekuasaannya. Setiap orang dapat memerintah suatu negara hanya jika rakyat mengakuinya. Sangat tampak kedaulatan rakyat menjadi perhatian utama.
4. Tinjauan Kritis Sistem Politik Demokrasi di Indonesia Berdasarkan Gagasan Mencius
Bahaya kelaparan sedang mengguncang beberapa daerah di Indonesia. Di sejumlah daerah dilaporkan meningkatnya anak-anak yang mengalami gizi buruk. Rakyat kerap mengeluh oleh karena beban hidupnya semakin berat. Harga kebutuhan pokok hampir tak terjangkau oleh rakyat kecil.[14] Di sisi lain, ada banyak konglomerat yang berada di kota besar hidup berfoya-foya. Di tengah situasi itu pula, antara presiden dan DPR malah berkonflik soal kekuasaan mereka.[15]Pertanyaannya, apakah penerapan sistem politik demokrasi di Indonesia saat ini sudah berjalan sesuai prinsip-prinsi yang sebenarnya atau tidak? Masih efektifkah sistem politik demokrasi diterapkan di Indonesia saat ini? Pertanyaan ini muncul oleh karena kurang adanya sinkronisasi antara hakekat sistem politik demokrasi yang sesungguhnya dengan kondisi riil kehidupan masyarakat saat ini. Prinsip-prinsip demokrasi seolah-olah mengalami stagnasi berhadapan dengan kondisi hidup sosial-politik saat ini. Dengan kata lain, sistem politik demokrasi tengah berjalan pincang.
Bambang Shergi Laksmono mengatakan, “Hasil akhir dari demokrasi adalah kesejahteraan. Inilah yang dinantikan rakyat. Rakyat banyak yang merasakan hidupnya seperti tikus yang mati di lumbung padi.”[16]Apa yang hendak dikatakan adalah penerapan sistem politik demokrasi di Indonesia belum mampu mencapai tujuan yang diharapkan yakni kesejahteraan rakyat.
Atas realitas sosial-politik ini, saya berani mengatakan bahwa sistem politik demokrasi yang diterapkan di Indonesia saat ini perlu dibenahi lagi. Gagasan Mencius bahwa yang paling penting dari sebuah negara adalah rakyat tidak mendapat titik terang di Indonesia. Sebab rakyat mengalami kehidupan yang sangat memprihatinkan. Mencius memang tidak menyatakan secara eksplisit idealismenya akan sebuah negara demokrasi, tetapi apa yang menjadi gagasan politiknya sungguh-sungguh mengangkat hal yang fundamental dalam sebuah negara demokrasi.
Melihat kehidupan rakyat yang memprihatinkan, maka pantas kalau kita mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Mencius memiliki keyakinan bahwa semua manusia memiliki rasa simpati terhadap orang lain. Manusia tidak tahan melihat penderitaan yang dialami oleh orang lain. Perasaan simpati ini dapat berkembang hanya dengan mengamalkan cinta.[17] Inilah kebajikan yang dimiliki setiap manusia yang memungkinkan adanya pemerintahan yang baik. Kenyataan bahwa banyak rakyat kecil saat ini mengalami penderitaan yang berkepanjangan merupakan indikasi bahwa pemimpin negara tidak menjalankan pemerintahannya berdasarkan kebajikan ini yakni rasa simpati dan cinta.
Adanya perbedaan yang sangat mencolok, dalam hal kesejahteraan, antara rakyat kecil dan para konglomerat di pemerintahan merupakan sebuah indikasi kepincangan relasi antara penguasa dan rakyat. Jurang antara yang kaya dan yang miskin sangat jauh. Peguasa tidak lagi menampakkan relasi timbal balik antar penguasa dan rakyat. Padahal relasi timabal balik anatar penguasa dan rakyat merupakan prinsip penting untuk negara yang menganut sistem politik demokrasi.
Dalam kaitan dengan pesoalan situasi ekonomi Indonesia yang kurang menguntungkan, maka dapat dikatakan proses demokratisasi berjalan tidak seimbang. Padahal, idealnya konsolidasi demokrasi harus berjalan bersama dengan konsolidasi ekonomi,[18] seperti apa yang dikatakan oleh Mencius bahwa ekonomi merupakan basis yang penting bagi keberlangsungan negara. Perjalanan yang seimbang antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi memungkinkan terciptanya masyarakat yang sejahtera.
5. Penutup
Sistem politik demokrasi, sebagaimana dicantumkan dalam UUD 1945, memosisikan rakyat sebagai unsur terpenting sebuah negara. Kedaulatan sebuah negara ada pada rakyat. Rakyatlah yang menjalankan roda pemerintahan. Hal itu memaksudkan agar pemerintahan negara tidak jatuh dalam totalitarianisme. Dan dengan demikian tujuan utama tetap pada kesejahteraan rakyat. Karena itu, apa yang dikatakan oleh Mencius bahwa rakyat adalah yang terpenting dari unsur-unsur negara adalah benar. Sebab, kekuasaan yang dimiliki oleh seorang penguasa bukan dari dirinya sendiri, tetapi dari rakyat, baik melalui pemilihan langsung maupun pemilihan tidak langsung. Mencius meyakini bahwa mandat seorang penguasa yang berasal dari “surga” akan bertahan kalau sang penguasa mampu menerima aspirasi dari rakyatnya.
Kita mendambakan bahwa sistem politik demokrasi yang diterapkan di Indonesia mampu membangun sebuah negara kesejahteraan. Penulis menyetujui apa yang dikatakan oleh Mencius tentang seorang pemimpin yaitu harus memiliki kebajikan moral yang baik (rasa simpati dan cinta). Sebab pemimpin yang memiliki kebajikan moral yang baik tidak mungkin membiarkan rakyatnya terus menderita dan dibebani oleh persoalan ekonomi setiap hari. Dengan demikian, negara yang ideal adalah negara yang dipimpin oleh orang yang memiliki kebajikan dan mampu membawa rakyat pada hidup yang sejahtera. Bukan kekuatan yang diutamakan dari seorang pemimpin, tetapi moralitas yang baik

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Reksosusilo, Dr. Stanislaus. Filsafat Cina (Diktat Kuliah). Malang: STFT Widya Sasana, tanpa tahun.
Suseno, Frans Magnis. Mencari Sosok Demokrasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Sarjadi, Soegeng dan Sukardi Rinakit (Ed.). Membaca Indonesia. Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate, 2005.
Yutang, Lin(Ed). Penguasa Bijak. Yogyakarta: Curiosita, 2004.
Yu-Lan, Fung. Sejarah Filsafat Cina. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

[1] Y. Ari Nurcahyo dalam Soegeng Sarjadi dan sukardi Rinakit (Ed.), Membaca Indonesia, Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate, 2005, hlm. 34.
[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1996, hlm. 692
[3] Media masa memberikan kepada kita berbagai informasi seputar kesulitan hidup rakyat kecil saat ini. Misalnya, seorang ibu rela membunuh anak kandungnya sendiri karena tak mampu menanggung beban hidup keluarga. Bdk. Kompas, 29 Maret 2008 dan 2 April 2008
[4] Mencius (Meng-Tze) hidup sekitar 372-289 SM. Ia dilahirkan di negeri kecil Tsou yang kini berada di provinsi Shantung.
[5] Dr. Stanislaus Reksosusilo, Filsafat Cina (Diktat Kuliah), Malang: STFT Widya Sasana, tanpa tahun, hlm.1-2. Bdk.https://forums.siutao.com/viewtopic.php?p=14444, diakses pada 5 April 2008.
[6] Sistem pemerintahan feodal, secara sederhana dapat digambarkan bahwa pemimpinnya adalah raja (pemerintah pusat). Dan di bawahnya ada bangsawan-bangsawan yang diberi kuasa oleh raja untuk memerintah regensi-regensi masing-masing.
[7] Fung Yu-Lan, Sejarah Filsafat Cina, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 94
[8] Ibid.,hlm. 94
[9] Menurut teori Confucius tentang pembetulan nama-nama, bahwa seorang penguasa yang tidak bertindak sebagaimana seharusnya ia bertindak, ia bukan lagi disebut penguasa melainkan sebagai manusia biasa. Ibid., hlm. 95
[10] Lin Yutang (Ed.), Penguasa Bijak, Yogyakarta: Curiosita, 2004, hlm. 87-88
[11] Ibid.,hlm.86-87
[12] Ibid.,hlm.151
[13] Dr. Stanislaus Reksosusilo, Op. Cit., hlm 10
[14] Bdk, Kompas, 31 Maret 2008 dan 1 April 2008
[15] Bdk. Kompas, 2 April 2008
[16] Kompas, 15 April 2008
[17] Fung Yu-Lan, Op. Cit., hlm. 97
[18] Kompas, 17 April 2008